Kamis, 24 November 2011

Cerita Wayang


PERANG BARATAYUDHA
Karna menjadi panglima perang, dan berhasil menewaskan musuh. Yudhisthira minta agar Arjuna menahan serangan Karna. Arjuna menyuruh Ghatotkaca untuk menahan dengan ilmu sihirnya, Ghatotkaca mengamuk, Korawa lari tunggang-langgang. Karna dengan berani melawan serangan Ghatotkaca. Namun Ghatotkaca terbang ke angkasa. Karna melayangkan panah, dan mengenai dada Ghatotkaca. Satria Pringgandani ini limbung dan jatuh menyambar kereta Karna, tetapi Karna dapat menghindar dan melompat dari kereta. Ghatotkaca mati di atas kereta Karna. Para Pandawa berdukacita. Hidimbi pamit kepada Dropadi untuk terjun ke perapian bersama jenasah anaknya.
Pertempuran terus berkobar, Drona berhasil membunuh tiga cucu Drupada, kemudian membunuh Drupada, dan raja Wirata. Maka Dhrtadyumna ingin membalas kematian Drupada.
Kresna mengadakan tipu muslihat. Disebarkannya berita, bahwa Aswatthama gugur. Yudhisthira dan Arjuna mencela sikap Kresna itu. Kemudian Bhima membunuh kuda bernama Aswatthama, kemudian disebarkan berita kematian kuda Aswatthama. Mendengar berita kematian Aswatthama, Drona menjadi gusar, lalu pingsan. Dhrtadyumna berhasil memenggal leher Drona. Aswatthama membela kematian ayahnya, lalu mengamuk dengan menghujamkan panah Narayana. Arjuna sedih atas kematian gurunya akibat perbuatan yang licik. Arjuna tidak bersedia melawan Aswatthama, tetapi Bhima tidak merasakan kematian Drona. Dhrtadymna dan Satyaki saling bertengkar mengenai usaha perlawanan terhadap Aswatthama. Kresna dan Yudhisthira menenangkan mereka. Pandawa diminta berhenti berperang. Tapi Bhima ingin melanjutkan pertempuran, dan maju ke medan perang mencari lawan, terutama ingin menghajar Aswatthama. Saudara-saudaranya berhasil menahan Bhima. Arjuna berhasil melumpuhkan senjata Aswatthama. Putra Drona ini lari dan sembunyi di sebuah pertapaan. Karna diangkat menjadi panglima perang. Banyak perwira Korawa yang memihak kepada Pandawa.
pandawa 04
KEMATIAN SAKUNI. Kepingan badannya dilempar ke lima penjuru dunia. (karya : Herjaka HS)
Pada waktu tengah malam, Yudhisthira meninggalkan kemah bersama saudara-saudaranya. Mereka khidmat menghormat kematian sang guru Drona, dan menghadap Bhisma yang belum meninggal dan masih terbaring di atas anak panah yang menopang tubuhnya. Bhisma memberi nasihat agar Pandawa melanjutkan pertempuran, dan memberi tahu bahwa Korawa telah ditakdirkan untuk kalah.
Pandawa melanjutkan pertempuran melawan Korawa yang dipimpin oleh Karna. Karna minta agar Salya mau mengusiri keretanya untuk menyerang Kresna dan Arjuna. Salya sebenarnya tidak bersedia, tetapi akhirnya mau asal Karna menuruti perintahnya.
Pertempuran berlangsung hebat, disertai caci maki dari kedua belah pihak. Bhima bergulat dengan Doryudana, kemudian menarik diri dari pertempuran. Dussasana dibunuh oleh Bhima, sebagai pembalasan sejak Dussasana menghina Drupadi. Darah Dussasana diminumnya.
Arjuna perang melawan Karna. Naga raksasa bernama Adrawalika musuh Arjuna, ingin membantu Karna dengan masuk ke anak panah Karna untuk menembus Arjuna. Ketika hendak disambar panah, kereta yang dikusiri Kresna dirundukkan, sehingga Arjuna hanya terserempet mahkota kepalanya. Naga Adrawalika itu ditewaskan oleh panah Arjuna. Ketika Karna mempersiapan anak panah yang luar biasa saktinya, Arjuna telah lebih dahulu meluncurkan panah saktinya. Tewaslah Karna oleh panah Arjuna.
Doryudhana menjadi cemas, lalu minta agar Sakuni melakukan tipu muslihat. Sakuni tidak bersedia karena waktu telah habis. Diusulkannya agar Salya jadi panglima tinggi. Sebenarnya Salya tidak bersedia. Ia mengusulkan agar mengadakan perundingan dengan Pandawa. Aswatthama menuduh Salya sebagai pengkhianat, dan menyebabkan kematian Karna. Tuduhan itu menyebabkan mereka berselisih, tetapi dilerai oleh saudara-saudaranya. Aswatthama tidak bersedia membantu perang lagi. Salya terpaksa mau menjadi panglima perang. Nakula disuruh Kresna untuk menemui Salya, dan minta agar Salya tidak ikut berperang. Nakula minta dibunuh daripada harus berperang melawan orang yang harus dihormatinya. Salya menjawab, bahwa ia harus menepati janji kepada Duryodhana, dan melakukan darma kesatria. Salya menyerahkan kematiannya kepada Nakula dan agar dibunuh dengan senjata Yudhisthira yang bernama Pustaka, agar dapat mencapai surga Rudra. Nakula kembali dengan sedih.
Salya menemui Satyawati, pamit maju ke medan perang. Isteri Salya amat sedih dan mengira bahwa suaminya akan gugur di medan perang. Satyawati ingin bunuh diri, ingin mati sebelum suaminya meninggal. Salya mencegahnya. Malam hari itu merupakan malam terakhir sebagai malam perpisahan. Pada waktu fajar Salya meninggalkan Satyawati tanpa pamit, dan dipotongnya kain alas tidur isterinya dengan keris. Salya memimpin pasukan Korawa. Amukan Bhima dan Arjuna sulit untuk dilawannya. Salya menghujankan anak panahnya yang bernama Rudrarosa. Kresna menyuruh agar Pandawa menyingkir. Yudhisthira disuruh menghadap Salya. Yudhisthira tidak bersedia harus melawan pamannya. Kresna menyadarkan dan menasihati Yudhisthira. Yudhisthira disuruh menggunakan Kalimahosadha, kitab sakti untuk menewaskan Salya. Salya mati oleh Kalimahosadha yang telah berubah menjadi pedang yang bernyala-nyala. Kematian Salya diikuti oleh kematian Sakuni oleh Bhima. Berita kematian Salya sampai kepada Satyawati. Satyawati menuju medan perang, mencari jenasah suaminya. Setelah ditemukan, Satyawati bunuh diri di atas bangkai suaminya.
Duryodhana melarikan diri dari medan perang, lalu bersembunyi di sebuah sungai. Bhima dapat menemukan Duryodhana yang sedang bertapa. Duryodhana dikatakan pengecut. Duryodhana sakit hati, lalu bangkit melawannya. Bhima diajak berperang dengan gada. Terjadilah perkelahian hebat. Baladewa yang sedang berziarah ke tempat-tempat suci diberi tahu oleh Narada tentang peristiwa peperangan di Hastina. Kresna menyuruh Arjuna agar Bhima diberi isyarat untuk memukul paha Duryodhana. Terbayarlah kaul Bhima ketika hendak menghancurkan Duryodhana dalam perang Bharatayudha. Baladewa yang menyaksikan pergulatan Bhima dengan Duryodhana menjadi marah, karena Pandawa dianggap tidak jujur, lalu akan membunuh Bhima. Tetapi maksud Baladewa dapat dicegah, dan redalah kemarahan Baladewa..
R.S. Subalidinata


































BALE SIGALA-GALA
Sengkuni tidak tenang dalam tidurnya. Siang hari sebelumnya ia dimarahi oleh Prabu Destarastra Raja Hastinapura. Ya, gara-garanya sangat sepele, Sengkuni memberikan laporan yang salah atas nasib Bima a.k.a Werkudara, putra kedua Pandawa itu. Bima dilaporkan sudah tewas tenggelam di sungai Gangga, tetapi sesungguhnya Bima masih segar bugar.
Akal licik Sengkuni berputar-putar di otaknya. Api kebencian kepada Bima semakin menyala-nyala dan membakar hati Sengkuni. Sungguh, ini gagasan yang sangat radikal, Sengkuni ingin benar-benar membakar tubuh Bima. Kalau perlu tidak hanya Bima saja, tetapi juga Kunti dan kelima Pandawa. Sengkuni tidak mau melanjutkan tidurnya. Rencana radikal itu harus dimatangkan malam itu juga. Maka, ia segera memanggil Ir. Purucona, MSc – arsitek terbaik di Hastinapura.
“Purucona, untuk rencana besar ini sepenuhnya aku percayakan kepadamu!” kata Sengkuni dengan mengepalkan telapak tangannya.
“Tolong Paduka jelaskan rencana besar itu, saya belum paham,” jawab Purucona yang memang belum memahami keinginan Sengkuni.
“Begini. Kamu harus membangun sebuah cottage di atas pegunungan Himalaya. Tetapi, buatlah bangunan itu mudah terbakar. Terserah bahan bangunan dari apa, kamu yang lebih tahu. Ingat, harus mudah terbakar dalam hitungan detik!” Puas hati Sengkuni setelah mengutarakan maksudnya.
“Baik, Paduka. Akan segera saya laksanakan perintah Paduka ini,” jawab Purucona.
“GPL!” bentak Sengkuni.
“Apa itu Paduka?” tanya Purucona.
“Gak Pake Lama, dodol. Arsitek kok nggak gaul amat sih,” sungut Sengkuni.
Memang, bangunan cottage yang megah dan mewah tersebut cepat diselesaikan oleh Purucona yang Ir dan MSc itu. Tetapi sesungguhnya cottage megah itu berupa bangunan semi permanen itu dibuat dari bahan-bahan yang mudah terbakar. Sengkuni sangat puas atas hasil karya Purucona. Cottage itu diberi sebutan Bale Sigala-gala.
Langkah selanjutnya, Sengkuni mendekati Duryudana, sulung Kurawa alias putra kesayangan Prabu Destarastra Raja Hastinapura. Ia menyampaikan maksudnya, dan Duryudana tanpa syarat apapun menyetujui rencana Sengkuni. Mereka pun akhirnya mengundang Dewi Kunti dan kelima anaknya, Puntadewa, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa, pada malam purnama sebelas hari lagi.
Salah satu ajaran yang dipegang teguh oleh Pandawa adalah tidak menaruh dendam kepada orang yang telah menganiaya mereka, termasuk klan Kurawa yang beberapa kali telah bertindak sewenang-wenang terhadap mereka. Kunti dan anak-anaknya akan memenuhi undangan Duryudana.
Syahdan, rencana tersebut tercium oleh Widura – paman Duryudana. Sebagai orang yang mempunyai kelebihan membaca hal-hal yang akan terjadi kemudian hari, Widura memanggil orang kepercayaannya untuk membuat sebuah terowongan di belakang bangunan Bale Sigala-gala. Terowongan tersebut dibuat dengan tujuan sebagai jalur evakuasi.
Dan saat yang ditunggu-tunggu Sengkuni datang juga. Ia terlihat gelisah menunggu kedatangan Kunti dan kelima anaknya. Betapa lega hatinya, begitu dilihat Kunti datang bersama putra Pandawa didampingi oleh kedua anak Widura, Sanjaya dan Yuyutsu.
Di Bale Sigala-gala mereka dijamu dengan keramahan palsu. Hidangan berlimpah ruah. Keluarga Kurawa dan Pandawa berbaur menjadi satu. Acara berlangsung hingga tengah malam. Kurawa pamit dan mempersilakan Pandawa untuk istirahat di Bale Sigala-gala.
Sengkuni, Duryudana dan Purucona tidak langsung pulang ke istana. Mereka masih mempunyai tugas yang maha penting yaitu membakar Bale Sigala-gala dan para penghuninya.
Malam semakin tua. Burung gagak di atas pohon mendendangkan nyanyian kematian. Setiap detik mereka lalui dengan hati berdebar. Keringat Sengkuni membasahi pakaian yang dikenakannya. Ia paling tidak sabar menunggu saat-saat tragis yang menjadi gagasannya.
“Blaaarrr…….!!!!!!” Terdengar bunyi ledakan sangat keras yang memekakkan telinga. Asap hitam membumbung tinggi dibarengi dengan jilatan api yang siap melahap Bale Sigala-gala dan para penghuninya.
Sengkuni dan Duryudana takjub. Terpana. Betapa dahsyatnya rancang-bangun buah mahakarya Ir. Purucona, MSc itu. Hanya sekejap, Bale Sigala-gala menjadi abu. Sisa asap masih terlihat. Merasa pekerjaannya sudah selesai, Sengkuni, Duryudana dan Purucona berjalan menuruni lereng untuk kembali ke istana.
“Purucona, aku kagum dengan hasil kerjamu!” kata Sengkuni dengan bibir nampak tersenyum.
“Tapi ngomong-omong apa yang memicu ledakan dahsyat dan langsung meluluhlantakkan Bale Sigala-gala tadi?” tanya Duryudana penasaran.
“Tabung elpiji 3 kg, Tuanku!” jawab Purucona, bangga.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar